Image from Wikimedia.org |
Pendahuluan
Kemajuan dunia kesehatan secara signifikan dalam memahami sistem sirkulasi perdaran darah manusia selama beberapa ratus tahun terakhir dan menggunakan tranfusi sebagai bentuk pengobatan.
Pada abad ke-17, William Harvey memperlihatkan cara kerja sistem peredaran darah manusia. Tak lama setelah itu, para ilmuwan mulai tertarik pada transfusi dimana pada awalnya mentransfusikan darah hewan ke manusia. Philip Syng Physick melakukan transfusi darah manusia pertama pada tahun 1795, dan transfusi darah manusia pertama untuk mengobati pendarahan dilakukan di Inggris pada tahun 1818 oleh Dr. James Blundell.
Kemajuan pesat yang dicapai dalam pemahaman mengenai golongan darah, komponen darah, dan penyimpanannya sejak awal tahun 1900-an membentuk dasar bagi bidang pengobatan dengan transfusi. Perkembangan transfusi melibatkan kedokteran laboratorium dan klinis, serta dokter dari berbagai spesialisasi seperti patologi, hematologi, anestesi, dan pediatri yang turut berkontribusi dalam bidang ini.
Transfusi sel darah merah telah menjadi prosedur yang relatif umum dilakukan. Di Amerika Serikat, sekitar 15 juta unit darah ditransfusikan setiap tahun, sementara sekitar 85 juta unit darah ditransfusikan di seluruh dunia.
Darah biasanya disimpan dalam bentuk berbagai komponen. Meskipun darah segar biasanya dianggap sebagai standar transfusi, kemajuan medis telah memungkinkan penggunaan berbagai komponen secara terpisah dan efisien, seperti sel darah merah kemasan (PRBC), konsentrat, plasma beku (FFP), konsentrat trombosit, dan kriopresipitat.
Indikasi
Pedoman transfusi sel darah merah dari American Association of Blood Banks (AABB) menyarankan pendekatan yang lebih hati-hati pada pasien yang stabil dengan anemia non perdarahan. Umumnya, anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 13 g/dL pada pria dan kurang dari 12 g/dL pada wanita.
Jika Pendekatan sebelumnya yang lebih longgar dengan batas hemoglobin di bawah 10 g/dL, tanpa memperhitungkan gejala. Saat ini, pedoman transfusi sel darah merah (RBC) cenderung mengikuti ambang batas yang lebih ketat. Meskipun angka ambang batas bervariasi, umumnya 7 g/dL merupakan nilai yang disetujui untuk pasien tanpa gejala.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nilai ini juga dapat diterima untuk pasien lain, termasuk yang mengalami perdarahan gastrointestinal (GI) dan kondisi kritis. Pedoman merekomendasikan nilai 8 g/dL sebagai ambang batas untuk pasien dengan penyakit arteri koroner atau yang menjalani operasi ortopedi.
Namun, ini mungkin karena kurangnya penelitian tentang penggunaan nilai 7 g/dL dalam populasi pasien tertentu. Pedoman dan uji klinis lainnya, seperti persyaratan transfusi dalam perawatan kritis (TRICC), juga menyarankan nilai 7 g/dL sebagai ambang batas untuk pasien kritis.
Transfusi juga bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan aktif atau akut, serta pada pasien yang menunjukkan gejala anemia (seperti takikardia, kelemahan, atau sesak napas saat beraktivitas) dengan hemoglobin kurang dari 8 g/dL. Anemia dalam situasi ini adalah penurunan massa sel darah merah dalam sirkulasi, diukur dalam gram hemoglobin per 100 ml darah.
Anemia bisa disebabkan oleh kehilangan darah, produksi yang kurang, kerusakan internal, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Meskipun banyak pasien dengan perdarahan aktif akan mengalami anemia, anemia itu sendiri tidak selalu menjadi indikasi untuk transfusi.
Perdarahan hebat bisa menyebabkan syok, di mana sel-sel tubuh kekurangan oksigen untuk melakukan metabolisme. Mengembalikan massa sel darah merah adalah salah satu aspek penanganan syok akibat perdarahan.
Kecuali dalam kasus perdarahan aktif, direkomendasikan untuk mentransfusikan 1 unit sel darah merah sekaligus, yang biasanya akan meningkatkan hemoglobin sekitar 1 g/dL dan hematokrit sekitar 3%. Penting untuk memeriksa kembali hemoglobin setelah transfusi.
American Society of Anesthesiologists menyarankan transfusi saat kadar hemoglobin di bawah 6 g/dL. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa risiko kematian lebih rendah saat hemoglobin sebelum anestesi di atas 8 g/dL, terutama pada pasien transplantasi ginjal.
Transfusi plasma beku segar (FFP) cukup sering dilakukan tapi indikasinya terbatas. Tidak cukup bukti untuk mendukung penggunaannya dalam berbagai kasus klinis seperti profilaksis pada pasien tanpa pendarahan. FFP kadang digunakan pada pasien yang mengalami pendarahan untuk menggantikan faktor koagulasi yang hilang. Contoh situasi di mana FFP digunakan antara lain bypass kardiopulmoner, penyakit hati dekompensasi, transfusi masif, teknik dukungan paru ekstrakorporeal, atau koagulasi intravaskular diseminata akut.
Dahulu FFP digunakan bersama vitamin K untuk kasus perdarahan akibat kelebihan warfarin. Namun, FFP jarang dibutuhkan untuk kekurangan vitamin K atau pembalikan warfarin karena konsentrat kompleks protrombin tersedia luas. Pengecualian terjadi pada kasus defisit volume plasma.
Transfusi trombosit bermanfaat pada pasien dengan kekurangan atau disfungsi trombosit. Pada pasien dengan kegagalan sumsum tulang, transfusi trombosit profilaksis diperlukan jika jumlah trombosit di bawah 10 X 10/L tanpa faktor risiko perdarahan lainnya. Ambang batas transfusi bisa ditingkatkan menjadi 20 X 10/L jika terdapat faktor risiko lain.
Untuk prosedur invasif, jumlah trombosit minimal 50 X 10/L. Pada perdarahan aktif, transfusi trombosit dilakukan jika trombosit di bawah 50 X 10/L. Bila terjadi perdarahan mikrovaskuler difus, trombosit harus dijaga di atas 100 X 10/L.
Transfusi kriopresipitat digunakan pada disfibrinogenemia atau kekurangan fibrinogen akibat perdarahan, cedera, prosedur invasif, atau koagulasi intravaskular diseminata akut.
Kontra Indikasi
Meskipun tidak ada kontraindikasi mutlak, beberapa pasien, termasuk anak-anak, mungkin menolak menerima transfusi karena alasan agama. Transfusi darah utuh tidak direkomendasikan ketika pengobatan dengan komponen spesifik sudah tersedia, seperti penggunaan sel darah merah untuk mengatasi anemia atau plasma beku segar untuk menangani masalah koagulopati.
Transfusi darah utuh dapat berpotensi menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk kelebihan volume. Oleh karena itu, disarankan untuk mempertimbangkan terapi komponen jika memungkinkan.
Persiapan Transfusi
Persiapan transfusi darah mencakup pemeriksaan pratransfusi untuk mengetahui kompatibilitas antara antibodi penerima dan sel darah merah donor. Langkah ini meliputi pengambilan sampel darah penerima untuk dianalisis jenis dan kecocokannya.
Pemeriksaan ini memverifikasi golongan darah penerima serta menentukan keberadaan antibodi yang mungkin menyebabkan reaksi. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk melakukan skrining ini. Jika hasilnya negatif, kemungkinan terjadinya reaksi sangat kecil.
Pengambilan darah untuk pasien harus dilakukan dengan cepat jika diperlukan. Namun, jika hasilnya positif, banyak bank darah akan melakukan crossmatch dan menyimpan dua unit darah untuk pasien jika diperlukan.
Beberapa persiapan sebelum melakukan transfusi darah antara lain:
- Jenis golongan darah dan Pencocokan Silang meliputi pengambilan sampel darah, pengiriman sampel ke bank darah. Selain itu, perawat harus memastikan sampel darah terlabel dengan benar, termasuk tanggal dan waktu pengambilan. Tunggu hingga bank darah melakukan crossmatch dan menyiapkan unit yang dibutuhkan.
- Melakukan Informed Consent dan mengkaji Riwayat Kesehatan pasien termasuk riwayat alergi. Perawat jugs harus mendapatkan persetujuan yang ditandatangani dari pasien.
- Memasang Akses Intravena yang Memadai
- Gunakan akses IV dengan ukuran 18 gauge atau lebih besar.
- Setiap unit darah harus ditransfusikan dalam waktu 2-4 jam.
- Pastikan tersedia akses IV kedua jika pasien memerlukan obat IV tambahan.
- Hanya larutan normal saline yang boleh diberikan bersama produk darah.
- Menyiapkan tabungtabung Y dengan filter in-line, larutan NaCl 0,9% dan penghangat darah.
- Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi detak jantung, suhu tubuh, tekanan darah, oksimeter, dan laju pernapasan. Selain itu, catat suara pernapasan dan keluaran urin.
- Memastikan pengiriman darah dari bank darah setelah mereka memberitahu bahwa darah telah siap. Satu unit darah yang dikemas hanya boleh diberikan satu kali. Setelah kemesana bdibuka, waktu yang tersedia untuk memulai transfusi adalah 20-30 menit, dengan total waktu maksimal hingga empat jam.
Prosedur Transfusi Darah
Alat
- Kateter besar (18G atau 19G)
- Cairan IV salin normal (Nacl 0.9%)
- Set infuse darah dengan filter
- Produk darah yang tepat
- Sarung tangan sekali pakai
- Kapas alcohol
- Plester
- Manset tekanan darah
- Stetoskop
- Thermometer
- Format persetujuan pemberian transfusi yang ditanda tangani
Prosedur Tindakan
- Jelaskan prosedur kepada klien, kaji pernah atau tidak klien menerima transfusi sebelumnya dan catat reaksi yang timbul
- Minta klien untuk melaporkan adanya menggigil, sakit kepala, gatal-gatal atau ruam dengan segera
- Pastikan bahwa klien telah menandatangani surat persetujuan
- Cuci tangan dan kenakan sarung tangan
- Pasang selang IV dengan menggunakan kateter berukuran besar
- Gunakan selang infuse yang memiliki filter didalam selang
- Gantungkan botol larutan salin normal 0.9% untuk diberikan setelah pemberian infuse darah selesai
- Ikuti protokol lembaga dalam mendapatkan produk darah dari bank darah
- Identifikasi produk darah dan klien dengan benar
- Ukur tanda vital dasar klien
- Berikan dahulu larutan salin normal. Mulai berikan transfuse secara perlahan diawali dengan pengisian filter didalam selang
- Atur kecepatan sampai 2ml/menit untuk 15 menit pertama dan tetaplah bersama klien.
- Monitor tanda vital setiap 5 menit selama 15 menit pertama transfusi, selanjutnya ukur setiap jam.
- Pertahankan kecepatan infuse yang di programkan dengan menggunakan pompa infuse.
- Lepas dan buang sarung tangan, cuci tangan.
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin dapat terjadi akibat transfusi darah antara lain infeksi, reaksi hemolitik, reaksi alergi, cedera paru terkait transfusi / Tranfusion Related Lung Injuri (TRALI), kelebihan sirkulasi terkait transfusi, dan ketidakseimbangan elektrolit.
Menurut American Association of Blood Banks (AABB), reaksi demam adalah komplikasi yang paling umum terjadi, diikuti oleh kelebihan sirkulasi terkait transfusi, reaksi alergi, TRALI, infeksi virus hepatitis C, infeksi virus hepatitis B, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan hemolisis fatal yang sangat jarang terjadi, hanya terjadi pada hampir 1 dari 2 juta unit sel darah merah yang ditransfusikan.
Reaksi Demam
Jika reaksi demam terjadi, transfusi harus dihentikan dan pasien dievaluasi, karena reaksi hemolitik pada awalnya mungkin menyerupai gejala reaksi demam. Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan hemolitik atau infeksi.
Penanganannya melibatkan pemberian asetaminofen dan jika diperlukan diphenhydramine untuk mengendalikan gejala. Setelah pengobatan dan penyebab lain telah dikesampingkan, transfusi dapat dilanjutkan dengan kecepatan yang lebih lambat.
Kelebihan Sirkulasi Terkait Transfusi
Kelebihan sirkulasi terkait transfusi ditandai oleh gangguan pernapasan akibat edema paru kardiogenik. Reaksi ini umumnya terjadi pada pasien yang sudah mengalami kelebihan cairan, seperti pada kasus gagal jantung kongestif atau gagal ginjal akut.
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan munculnya gejala dalam waktu 6-12 jam setelah menerima transfusi, bukti klinis kelebihan cairan, edema paru, peningkatan kadar peptida natriuretik otak, dan respon terhadap diuretik.
Upaya pencegahan dan pengobatannya meliputi pembatasan jumlah transfusi seminim mungkin, melakukan transfusi dalam kecepatan terlambat, dan memberikan diuretik sebelum atau antara transfusi.
Reaksi Alergi
Reaksi alergi sering muncul dalam bentuk urtikaria dan pruritis dan terjadi pada kurang dari 1% dari seluruh transfusi. Gejala yang lebih parah seperti bronkospasme, mengi, dan anafilaksis, jarang terjadi.
Reaksi alergi dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA, di mana paparan IgA dari produk donor dapat menyebabkan reaksi anafilaktoid yang parah. Hal ini dapat dicegah dengan mencuci plasma dari sel sebelum transfusi.
Gejala ringan, seperti pruritis dan urtikaria, dapat diobati dengan antihistamin. Gejala yang lebih parah memerlukan bronkodilator, steroid, dan epinefrin.
Cedera Paru Terkait Transfusi (TRALI)
TRALI merupakan kejadian yang jarang terjadi, yaitu hanya pada sekitar 1 dari 12.000 pasien transfusi. Pasien biasanya mengalami gejala dalam waktu 2-4 jam setelah menerima transfusi.
Gejala meliputi gangguan pernapasan hipoksemik akut yang mirip dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). Pasien akan mengalami edema paru dengan tekanan vena sentral (CVP) yang normal tanpa bukti kegagalan jantung kiri.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat transfusi baru baru ini, hasil rontgen dada dengan infiltrat bercak yang tersebar, dan eliminasi etiologi lainnya. Meskipun angka kematian sekitar 10%, sebagian besar pasien akan pulih dalam waktu 96 jam dengan perawatan suportif.
Infeksi
Meskipun merupakan potensi komplikasi yang bisa terjadi, risiko infeksi telah menurun berkat skrining terhadap orang yang menjadi calon donor sehingga risiko terkena hepatitis C dan HIV kurang dari 1 dalam sejuta. Infeksi bakteri juga mungkin terjadi, namun kejadiannya jarang sekali, yaitu sekitar satu kali dalam setiap 250.000 unit sel darah merah yang ditransfusikan.
Hemolisis
Hemolisis yang mematikan sangat jarang terjadi, kira-kira hanya pada 1 kejadian dari hampir 2 juta transfusi. Biasanya disebabkan oleh ketidakcocokan ABO, di mana antibodi penerima mengenali dan menginduksi hemolisis pada sel donor yang ditransfusikan.
Pasien biasanya menunjukkan gejala demam dan menggigil yang akut, nyeri pada bagian bawah punggung, kemerahan pada wajah, sesak napas, serta takikardia dan syok.
Pengobatannya meliputi penghentian transfusi, membiarkan infus tetap di tempatnya, cairan infus dengan normal saline, dan memastikan keluaran urin lebih dari 100 mL/jam, mungkin diperlukan juga diuretik.
Dukungan kardiorespirasi harus diberikan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan hemolitik juga harus dilakukan, termasuk pengiriman darah donor dan selang serta sampel laboratorium pasca transfusi dari penerima ke bank darah.
Kelainan Elektrolit
Meskipun jarang, kelainan elektrolit dapat terjadi, terutama pada transfusi dengan volume besar.
- Hipokalsemia dapat terjadi karena sitrat, suatu antikoagulan dalam produk darah yang berikatan dengan kalsium.
- Hiperkalemia dapat terjadi akibat pelepasan kalium dari sel selama penyimpanan. Risiko lebih tinggi pada neonatus dan pasien dengan insufisiensi ginjal.
- Hipokalemia dapat terjadi akibat alkalinisasi darah karena sitrat diubah menjadi bikarbonat oleh hati pada pasien dengan fungsi hati normal.
Referensi:
Lotterman.S, Sharma. S. 2023. Blood Transfusion. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing
Carson J.L et,al. 2016. Clinical Practice Guidelines From the AABB: Red Blood Cell Transfusion Threholds and Storage. JAMA. 15;316 (19): 2025-2035
Koo BN, et. al. 2019. Korean Clinical Practice Guideline For Perioperative Red Blood Cell Transfusion From Korean Society of Anesthesiologists. Korean J Anesthesiol. 72(2):91-118.