Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak-anak biasanya 6 bulan sampai 5 tahun yang terkait dengan demam lebih dari 38°C tanpa bukti penyebab intrakranial seperti infeksi, trauma kepala, epilepsi atau penyebab lain yang dapat pastikan. Pada tulisan ini, Repro Note akan merangkum mengenai konsep penyakit dan askep kejang demam pada anak menggunakan pendekatan Sdki Slki Siki.
Image by AngryJulieMonday on flickr |
Pendahuluan
Kejang demam adalah jenis kejang yang paling umum diamati pada kelompok usia anak. Meskipun kejang demam sudah tercatat sejak zaman Yunani kuno, baru pada abad ini kejang demam diakui sebagai sindrom berbeda yang terpisah dari epilepsi.
Pada tahun 1980, sebuah konferensi konsensus yang diadakan oleh National Institutes of Health menggambarkan kejang demam sebagai Peristiwa pada masa bayi atau masa kanak-kanak yang biasanya terjadi antara usia tiga bulan sampai lima tahun, terkait dengan demam, tetapi tanpa bukti infeksi intrakranial atau penyebab pasti.
Definisi lain dari The International League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi pada masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan yang berhubungan dengan penyakit demam yang tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat (SSP), tanpa kejang neonatal sebelumnya atau kejang yang tidak diprovokasi sebelumnya dan tidak memenuhi kriteria kejang simtomatik akut lainnya.
Epidemiologi
Kejang demam adalah gangguan neurologis yang umum pada kelompok usia anak dan mempengaruhi sekitar 2-5% anak antara usia 6 bulan dan 5 tahun dengan kejadian puncak antara usia 12-18 bulan.
Meskipun kejang demam bisa terjadi pada semua kelompok etnis, namun lebih sering terlihat pada populasi Asia (5-10% anak-anak India dan 6-9% anak-anak Jepang). Insidennya tinggi yaitu 14% di Guama.
Rasio laki-perempuan kira-kira 1,6 sampai 1,8. Kondisi ini lebih sering terjadi pada anak-anak dengan status sosial ekonomi rendah, hal ini mungkin disebabkan karena akses yang tidak memadai fasilitas kesehatan.
Variasi musiman dan diurnal dalam kejadian kejang demam telah diamati oleh peneliti di Amerika Serikat, Finlandia, dan Jepang. Hasilnya didapatkan bahwa sebagian besar kejang demam terjadi pada bulan-bulan musim dingin dan sore hari.
Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab kejang demam bersifat multifaktorial. Secara umum diyakini bahwa kejang demam diakibatkan oleh kerentanan sistem saraf pusat (SSP) yang sedang berkembang terhadap efek demam, dikombinasikan dengan predisposisi genetik yang mendasari dan faktor lingkungan.
Kejang demam merupakan respon yang bergantung pada usia dari otak yang belum matang. Selama proses maturasi, terjadi peningkatan eksitabilitas saraf yang membuat anak cenderung mengalami kejang pada saat suhu naik diatas normal. Dengan demikian, kejang demam terjadi terutama pada anak-anak sebelum usia 3 tahun adalah ketika ambang kejang rendah.
Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan peran penting. Sekitar sepertiga dari anak-anak dengan kejang demam memiliki riwayat keluarga dengan kondisi tersebut.
Risiko kejang demam untuk seorang anak adalah sekitar 20% dengan saudara kandung yang pernah terkena dan sekitar 33% dengan orang tua yang pernah terkena. Tingkat kesesuaian adalah sekitar 35-69% dan 14-20% pada kembar monozigot dan kembar dizigotik.
Gen yang mungkin meningkatkan risiko kejang demam telah dipetakan ke lokus kromosom dengan hipotesis beberapa mode pewarisan, seperti mode pewarisan autosomal dominan dengan penurunan penetrasi dan mode pewarisan poligenik atau multifaktorial.
Tingkat suhu saat demam dan kecepatan kenaikan suhu adalah faktor risiko yang paling signifikan untuk perkembangan kejang demam pertama. Secara umum, semakin tinggi suhu, semakin besar kemungkinan kejang demam. Anak dengan kejang demam memiliki ambang kejang yang lebih rendah.
Infeksi virus adalah penyebab demam pada sekitar 80% kasus kejang demam. Roseola infantum (exanthema subitum), influenza A, dan human coronavirus menimbulkan risiko tertinggi untuk kejang demam. Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), infeksi saluran kemih, faringitis, otitis media, dan gastroenteritis Shigella adalah penyebab penting lainnya.
Risiko kejang demam untuk sementara meningkat selama beberapa hari setelah pemberian vaksin tertentu, terutama kombinasi vaksin difteri,tetanus toksoid,pertusis. Vaksin lain yang terlibat sebagai penyebab kejang demam pasca vaksinasi adalah vaksin virus polio, Haemophilus influenzae tipe b (DTaP-IPV-Hib), vaksin campak, gondok, rubella, varicella, vaksin pneumokokus terkonjugasi, dan beberapa formulasi vaksin influenza yang tidak aktif.
Anak-anak yang lahir prematur lebih rentan mengalami kejang demam dan perawatan postnatal dengan kortikosteroid semakin meningkatkan risiko tersebut. Pajanan nikotin atau alkohol sebelum kelahiran dikaitkan dengan sedikit peningkatan risiko kejang demam.
Stres prenatal dapat memiliki efek pada otak yang sedang berkembang dan meningkatkan rangsangan saraf menghasilkan ambang kejang yang lebih rendah. Paparan kebisingan lalu lintas dan polusi udara merupakan faktor risiko lainnya.
Zat besi sangat penting untuk fungsi neurotransmiter tertentu, seperti monoamine oxidase dan aldehyde oxidase. Anemia defisiensi besi dapat menjadi predisposisi kejang demam.
Defisiensi seng terlibat sebagai faktor risiko kejang demam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan vitamin B12, asam folat, selenium, kalsium, dan magnesium meningkatkan risiko kejang demam.
Faktor risiko lainnya termasuk riwayat kejang demam, kejang demam pada keluarga inti, retardasi pertumbuhan intrauterin dan keterlambatan perkembangan saraf.
Patofisiologi
Kejang demam terjadi pada anak anak pada periode perkembangan ketika ambang kejang rendah. Ini adalah periode ketika anak rentan terhadap infeksi seperti infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, virus, dan mereka merespons dengan peningkatan suhu atau demam.
Penelitian menunjukkan kemungkinan peran pirogen endogen, seperti interleukin 1beta dengan meningkatkan rangsangan saraf dan dapat menghubungkan demam dengan aktivitas kejang.
Penelitian pada anak tampaknya mendukung hipotesis bahwa jaringan sitokin diaktifkan dan mungkin memiliki peran dalam patogenesis kejang demam, tetapi signifikansi klinis dan patologis yang pasti dari pengamatan ini belum jelas.
Kejang demam dibagi menjadi 2 jenis, yaitu kejang demam sederhana yang bersifat umum, berlangsung <15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam. Jenis kedua adalah kejang demam kompleks yang berlangsung lebih lama dan berulang lebih dari sekali dalam 24 jam.
Kejang demam kompleks dapat mengindikasikan proses penyakit yang lebih serius, seperti meningitis, abses, atau ensefalitis. Status epileptikus demam, jenis kejang demam kompleks yang parah didefinisikan sebagai kejang tunggal atau serangkaian kejang tanpa pemulihan sementara yang berlangsung setidaknya 30 menit.
Infeksi virus adalah pencetus utama kejang demam. Literatur terbaru mendokumentasikan keberadaan human herpes simplex virus 6 (HHSV-6) sebagai agen etiologi pada roseola pada sekitar 20% dari kelompok pasien yang mengalami kejang demam pertama mereka. Gastroenteritis Shigella juga dikaitkan dengan kejang demam. Penelitian juga menunjukkan hubungan antara kejang demam berulang dan influenza A.
Kejang demam cenderung terjadi pada keluarga. Pada anak dengan kejang demam, resiko kejang demam adalah 10% untuk saudara kandungnya dan hampir 50% untuk saudara kandungnya jika orang tuanya juga mengalami kejang demam. Meskipun ada bukti yang jelas untuk dasar genetik kejang demam namun cara pewarisan tidak jelas.
Sementara kemungkinan pewarisan poligenik, sejumlah kecil keluarga diidentifikasi dengan pola pewarisan kejang demam autosomal dominan yang mengarah ke deskripsi "sifat kerentanan kejang demam". Meskipun mekanisme molekuler yang pasti dari kejang demam belum dipahami, mutasi yang mendasari telah ditemukan pada gen yang mengkode saluran natrium dan reseptor asam aminobutirat gamma A.
Manifestasi Klinis
Pada kebanyakan kasus, kejang demam terjadi pada hari pertama demam. Kejang yang terjadi ≥3 hari setelah timbulnya demam harus diperiksa lebih lanjut.
Pada saat kejang, mayoritas anak memiliki suhu ≥39°C.10. Kejang demam dapat diklasifikasikan sebagai kejang sederhana atau kejang demam kompleks berdasarkan durasi, karakteristik fisik, dan pola kekambuhan.
Insiden kejang demam sederhana adalah sekitar 80–85% dari semua kejang demam. Terjadi kehilangan kesadaran pada saat kejang demam. selain itu, dapat juga terjadi mulut berbusa, sulit bernapas, pucat, atau sianosis.
Biasanya, kejang demam sederhana bersifat umum dan berhubungan dengan gerakan tonik-klonik anggota badan dan bola mata memutar ke belakang. Kejang biasanya berlangsung selama beberapa detik hingga paling lama 15 menit (biasanya kurang dari 5 menit), diikuti dengan periode rasa kantuk singkat, dan tidak berulang dalam 24 jam. Serangan atonik dan tonik juga melibatkan otot wajah dan pernapasan.
Sebaliknya, kejang demam kompleks biasanya berlangsung lebih dari 15 menit. Kejang biasanya fokal dan gerakan terbatas pada satu sisi tubuh atau satu anggota tubuh. Kejang ini mungkin berulang pada hari yang sama.
Kejang mungkin memiliki periode kantuk postictal yang berkepanjangan atau berhubungan dengan hemiparese transien postictal (Todd's palsy).
Umumnya, anak-anak dengan kejang demam kompleks lebih mungkin mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan dengan kejang demam sederhana. Mayoritas anak-anak dengan kejang demam kompleks mengalami kejang demam pertama kali, tetapi anak-anak dengan kejang demam sederhana awal dapat mengalami kejang demam kompleks setelahnya.
Status epileptikus demam, jenis kejang demam kompleks yang paling parah mengacu pada kejang demam terus menerus atau intermiten tanpa kesadaran kembali pada keadaan interiktal selama lebih dari 30 menit.
Perlu dicatat bahwa mata terus-menerus terbuka atau menyimpang adalah ciri aktivitas kejang yang sedang berlangsung. Anak-anak dengan status epileptikus demam lebih cenderung memiliki kelainan hipokampus dan juga berisiko tinggi untuk mengalami status epileptikus demam berikutnya.
Perlu dilakukan anamnesis yang mendetail untuk mengetahui penyebab demam, hubungan onset demam dengan kejang, karakteristik demam meliputi suhu dan durasi puncak, semiologi kejang, dan durasi rasa kantuk postictal.
Anamnesis juga harus mencakup riwayat kejang sebelumnya dan apakah anak baru saja divaksinasi, atau diobati dengan agen antimikroba. Demam umumnya terjadi pada kelompok usia anak-anak dan dapat terjadi secara kebetulan menyebabkan kejang yang lebih serius.
Oleh karena itu, pengkajian harus mencakup status imunisasi, potensi pajanan terhadap infeksi, paparan toksin, trauma SSP, riwayat tumbuh kembang, riwayat kejang sebelumnya, dan riwayat kejang pada anggota keluarga lainnya.
Tanda-tanda vital harus dipantau dan Pemeriksaan fisik menyeluruh harus dilakukan untuk mengetahui penyebab yang mendasari demam. Tanda berupa gendang telinga menggembung eritematosa, faring merah dan bengkak, pembengkakan tonsil, dan exanthem dapat memberikan petunjuk sumber demam.
Pemeriksaan juga harus mengidentifikasi tanda-tanda meningitis seperti iritabilitas, depresi sensorium, kaku kuduk, fontanel menonjol atau tegang, dan tanda Brudzinski atau Kernig.
Pemeriksaan neurologis juga harus dilakukan, seperti tingkat kesadaran, tonus dan kekuatan otot, serta refleks perifer. Setiap kelainan fokal harus dicatat. Pemeriksaan fundus harus dilakukan untuk mencari peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah biasanya tidak diperlukan jika anamnesis dan pemeriksaan fisik memastikan kesimpulan kejang demam. Hitung sel darah lengkap dan tes darah untuk kadar glukosa, elektrolit, nitrogen urea, kreatinin, kalsium, fosfor, dan magnesium biasanya tidak membantu dalam mengevaluasi anak dengan kejang demam.
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dipandu oleh anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik. Hitung sel darah lengkap harus dipertimbangkan pada anak yang menunjukkan gejala bakteremia.
Pemeriksaan glukosa serum, elektrolit, kreatinin, dan nitrogen urea harus dipertimbangkan jika ada riwayat asupan cairan yang tidak mencukupi, muntah, atau diare atau jika ada tanda-tanda fisik dehidrasi. Urinalisis harus dipertimbangkan jika penyebab demam tidak jelas.
Pungsi lumbal tidak diperlukan pada sebagian besar anak-anak yang secara umum menunjukkan kondisi baik dan kembali ke kondisi normal dengan cepat setelah kejang.
Pungsi lumbal harus dilakukan pada anak dengan gejala atau tanda meningitis atau status epileptikus demam. Prosedur ini juga harus dipertimbangkan pada anak-anak yang mengalami kejang setelah demam hari kedua, yang telah menjalani terapi antimikroba sebelumnya.
Jika pungsi lumbal dilakukan, disarankan untuk dilakukan kultur darah dan penentuan glukosa serum secara bersamaan. Pleositosis, kadar glukosa rendah, dan kadar protein tinggi dalam cairan serebrospinal merupakan indikasi meningitis bakteri, yang memerlukan kebutuhan kultur cairan serebrospinal.
Tidak ada temuan kejang demam spesifik pada elektroensefalogram (EEG), dan nilai EEG terbatas untuk memprediksi kekambuhan kejang demam. EEG rutin tidak membantu dan tidak direkomendasikan dalam evaluasi anak sehat dengan kejang demam sederhana.
EEG harus dipertimbangkan pada anak yang mengalami kejang demam berkepanjangan atau kompleks, mengalami kekambuhan yang tidak terkait dengan demam, atau pada anak dengan kejang demam berulang yang mengalami keterlambatan perkembangan atau defisit neurologis.
Radiografi tengkorak tidak menunjukan manfaat dalam evaluasi anak dengan kejang demam. Pemeriksaan neuroimaging seperti magnetic resonance imaging (MRI) atau cranial computed tomography (CT) diindikasikan pada anak dengan kejang demam disertai dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial, kelainan neurologis fokal , dugaan cacat struktural di otak, kepala besar yang tidak normal, dan cedera kepala parah.
Komplikasi
Kejang demam bisa sangat menakutkan dan traumatis secara emosional bagi orang tua. Kondisi ini dapat menyebabkan kecemasan dan kepanikan yang tidak semestinya bagi orang tua yang mungkin mendapat kesan bahwa anak mereka mungkin meninggal selama kejang dan bisa mengalami kerusakan otak.
Anak dengan kejang demam sederhana memiliki risiko epilepsi lebih tinggi sekitar 1% dibandingkan dengan anak normal. Risiko epilepsi di masa depan pada anak dengan kejang demam kompleks adalah sekitar 4–6%.
Faktor risiko lain untuk perkembangan epilepsi termasuk durasi demam yang lebih pendek (<1 jam) sebelum kejang, onset kejang demam sebelum usia 1 tahun atau setelah usia 3 tahun, beberapa episode kejang demam, kelainan perkembangan saraf, riwayat epilepsi keluarga, dan pelepasan epileptiform pada EEG.
Ensefalopati jarang muncul sebagai komplikasi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa mutasi missense pada saluran natrium SCN1A dan gen SCN2A dapat mempengaruhi anak-anak untuk mengalami kejang demam berat.
Kejang demam berulang, parah, dan berkepanjangan, dapat menyebabkan pergantian hippocampal yang persisten. sirkuit saraf dalam keseimbangan antara respon rangsang dan penghambatan serta sklerosis temporal mesial, menyebabkan epileptogenesis mengikuti kejang demam.
Secara umum diyakini bahwa anak-anak dengan kejang demam sederhana tidak berisiko tinggi mengalami defisit neurologis dan kecerdasan serta fungsi kognitif mereka tidak terpengaruh.
Anak-anak dengan kejang demam memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit atopik seperti rinitis alergi dan asma. Prevalensi hiperglikemia stres yang tinggi telah dilaporkan pada anak-anak dengan kejang demam.
Penatalaksanaan
Pengobatan kejang harus dimulai jika kejang masih berlanjut saat anak tiba di fasilitas medis. Obat yang bisa digunakan adalah lorazepam intravena (0,05–0,1 mg/kg) atau diazepam (0,1–0,2 mg/kg) yang sangat efisien dalam menghentikan kejang.
Status epileptikus demam jarang berhenti secara spontan dan seringkali membutuhkan lebih dari satu obat antiepilepsi untuk mengendalikannya. Pengobatan awal terdiri dari pemberian lorazepam (0,1 mg/kg) atau diazepam (0,2 mg/kg) intravena.
Jika kejang berlanjut setelah 5 menit, dosis lorazepam (0,1 mg/kg) atau diazepam (0,2 mg/kg) dapat diulang secara intravena. Jika kejang berlanjut selama 10-15 menit, fosfenitoin dengan dosis 20 mg setara fenitoin/kg atau fenobarbital pada dosis 20 mg/kg dapat diberikan secara intravena.
Jika kejang masih berlanjut, dosis tambahan (setara fenitoin 5-10 mg/kg) fosfenitoin dapat diberikan secara intravena 10 menit setelah dosis sebelumnya. Pilihan lainnya adalah memberikan fenobarbital intravena dengan dosis 20 mg/kg, asam valproat dengan dosis 20–40 mg/kg, atau levetiracetam 20–60 mg/kg.
Tanda-tanda vital seperti suhu, detak jantung, laju pernapasan, dan tekanan darah harus dipantau selama kejang. Anak-anak yang dirawat di rumah sakit harus dipantau dengan oksimetri nadi terus menerus.
Anak hipoksia harus diberikan oksigen tambahan melalui kanula hidung, head box, masker wajah, atau alat HFNC untuk mempertahankan SaO2 >92%.
Melepaskan pakaian dan selimut yang berlebihan dapat membantu menurunkan demam. Antipiretik dapat diberikan jika demam cukup tinggi dan menyebabkan rasa tidak nyaman pada anak.
Normalisasi suhu tubuh mungkin tidak mencegah kejang demam lebih lanjut, tapi penggunaan antipiretik dapat membuat anak lebih nyaman. Penyebab demam harus diobati bila memungkinkan.
Kejang demam dapat menimbulkan kecemasan bagi orang tua akibat pengetahuan orang tua yang kurang. Telah ditunjukkan bahwa kecemasan orang tua dapat diminimalkan dengan program intervensi pendidikan.
Dalam hal ini, mengorganisir program intervensi pendidikan yang efektif untuk orang tua tentang apa yang harus mereka lakukan jika kejang demam lebih lanjut terjadi di rumah. Direkomendasikan agar setiap orang tua mengikuti kursus resusitasi jantung paru. Orang tua harus diajari untuk menempatkan anak dengan kejang demam pada posisi semi prone untuk mengurangi resiko aspirasi.
Sebagian besar anak dengan kejang demam tidak memerlukan rawat inap. Mereka dapat dipulangkan ke rumah setelah mereka kembali ke keadaan normal dan dinilai sehat serta setelah pemberian pendidikan kesehatan untuk orang tuanya.
Rawat inap harus dipertimbangkan bagi anak yang dicurigai memiliki infeksi serius dan memiliki infeksi yang berkepanjangan atau kejang fokal, terutama jika ada pemulihan yang tertunda ke temuan neurologis awal atau residual.
Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian diperlukan untuk mengidentifikasi potensi masalah yang mungkin mengarah pada kondisi kejang demam serta mengidentifikasi setiap episode yang mungkin terjadi selama asuhan keperawatan.
- Identifikasi penyebab yang mendasari kejang demam: Identifikasi faktor pemicu, penentuan dan pengelolaan penyebab yang mendasari diperlukan untuk pemulihan.
- Kaji tanda-tanda vital pasien: Pantau detak jantung pasien, tekanan darah, dan terutama suhu timpani atau rektal.
- Kaji usia dan berat badan: Usia atau berat badan yang ekstrem meningkatkan risiko ketidakmampuan untuk mengontrol suhu tubuh.
- Nilai status cairan: Pantau asupan cairan dan keluaran urin, resusitasi cairan mungkin diperlukan untuk memperbaiki dehidrasi.
Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki
1. Hipertermia (Sdki D.0130)
Luaran: Termoregulasi membaik (Slki L.14134) dengan kriteria hasil:
- Menggigil menurun
- Suhu tubuh membaik
- Suhu kulit membaik
Intervensi Keperawatan:
a. Manajemen Hipertermia (Siki I.15506)
Observasi
- Identifikasi penyebab hipertermia (mis: dehidrasi, terpapar lingkungan panas, penggunaan inkubator)
- Monitor suhu tubuh
- Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urin
- Monitor komplikasi akibat hipertermia
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang dingin
- Longgarkan atau lepaskan pakaian
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis (keringat berlebih)
- Lakukan pendinginan eksternal (mis: selimut hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
- Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan infus dan elektrolit intravena, jika perlu
b. Regulasi Temperatur (Siki I.14578)
Observasi
- Monitor suhu tubuh bayi sampai stabil (36,5 – 37,5°C)
- Monitor suhu tubuh anak tiap 2 jam, jika perlu
- Monitor tekanan darah, frekuensi pernapasan dan nadi
- Monitor warna dan suhu kulit
- Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia atau hipertermia
Terapeutik
- Pasang alat pemantau suhu kontinu, jika perlu
- Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
- Hangatkan terlebih dahulu bahan-bahan yang akan kontak dengan bayi (mis: selimut, kain bedongan, stetoskop)
- Hindari meletakkan bayi di dekat jendela terbuka atau di area aliran pendingin ruangan atau kipas angin
- Gunakan matras penghangat, selimut hangat, dan penghangat ruangan untuk menaikkan suhu tubuh, jika perlu
- Gunakan Kasur pendingin, water circulating blankets, ice pack, atau gel pad dan intravaskular cooling catheterization untuk menurunkan suhu tubuh
- Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
Edukasi
- Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan heat stroke
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu
2. Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif (SDKI D.0015)
Luaran: Perfusi Perifer Meningkat (Slki L.02011) dengan kriteria hasil :
- Kekuatan nadi perifer meningkat
- Warna kulit pucat menurun
- Pengisian kapiler membaik
- Akral membaik
- Turgor kulit membaik
Intervensi Keperawatan:
a. Pencegahan Syok (Siki I.02068)
Observasi
- Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi nafas, TD, MAP)
- Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
- Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)
- Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
- Periksa Riwayat alergi
Terapeutik
- Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%
- Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
- Pasang jalur IV, jika perlu
- Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin, jika perlu
- Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
Edukasi
- Jelaskan penyebab/faktor resiko syok
- Jelaskan tanda dan gejala awal syok
- Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan gejala awal syok
- Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
- Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
- Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
3. Risiko Cedera (Sdki D.0136)
Luaran: Tingkat Cedera Menurun (Slki L.14136)
- Kejadian cedera menurun
- Luka menurun
Intervensi:
a. Manajemen Keselamatan Lingkungan (Siki I.14513)
Observasi
- Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis: kondisi fisik, fungsi kognitif, dan Riwayat perilaku)
- Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
Terapeutik
- Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (mis: fisik, biologi, kimia), jika memungkinkan
- Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko
- Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis: commode chair dan pegangan tangan)
- Gunakan perangkat pelindung (mis: pengekangan fisik, rel samping, pintu terkunci, pagar)
- Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas (mis: puskesmas, polisi, damkar)
- Fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman
- Lakukan program skrining bahaya lingkungan
Edukasi
- Ajarkan individu, keluarga, dan kelompok risiko tinggi bahaya lingkungan
b. Pencegahan cedera (Siki I.14537)
Observasi
- Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
- Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera
- Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stocking elastis pada ekstremitas bawah
Terapeutik
- Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang rawat (mis: penggunaan telepon, tempat tidur, penerangan ruangan, dan lokasi kamar mandi)
- Sediakan pispot dan urinal untuk eliminasi di tempat tidur, jika perlu
- Pastikan bel panggilan atau telepon mudah terjangkau
- Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau
- Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat digunakan
- Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam kondisi terkunci
- Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas pelayanan Kesehatan
- Pertimbangkan penggunaan alarm elektronik pribadi atau alarm sensor pada tempat tidur atau kursi
- Diskusikan Bersama anggota keluarga yang dapat mendampingi pasien
- Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan
Edukasi
- Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga
4. Defisit Pengetahuan (Sdki D.0111)
Luaran: Tingkat Pengetahuan Meningkat (Slki L.12111) dengan kriteria hasil
- Perilaku sesuai anjuran meningkat
- Verbalisasi minat dalam belajar meningkat
- Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik meningkat
- Kemampuan menggambarkan pengalaman sebelumnya yang sesuai dengan topik meningkat
- Perilaku sesuai dengan pengetahuan meningkat
- Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi menurun
- Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun
Intervensi Keperawatan: Edukasi Kesehatan (I.12383)
Observasi
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
- Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat
Terapeutik
- Sediakan materi dan media Pendidikan Kesehatan
- Jadwalkan Pendidikan Kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan untuk bertanya
Edukasi
- Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi Kesehatan
- Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
- Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
Referensi:
- Leung AK, Hon KL, Leung TN. 2018. Febrile seizures: an overview. Drugs Context. doi: 10.7573/dic.212536.
- Nooruddin R T MD. 2018. Febrile Seizures. Medscape. Emedicine
- Paul Martin BSN RN. 2023. Febrile Seizure Nursing Care Plans. Nurses Labs
- PPNI, 2017. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
- PPNI, 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia edisi (SIKI) 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta
- PPNI, 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta